Wednesday, October 18, 2006

Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara

Harga : Rp 35.000,-
Buku ini diterbitkan untuk maksud melengkapi kepustakaan
hukum tata negara di tanah air yang dirasakan sangat terbatas jumlah dan mutunya, terutama yang membahas teori-teori konstitusi dan teori hukum tata negara pada umumnya. Di samping dunia perbukuan di tanah air kita memang masih sangat terbatas kuantitas dan kualitasnya, karena rendahnya minat dan kegemaran masyarakat kita untuk membaca, kelangkaan buku-buku yang membahas secara mendalam berbagai teori konstitusi dan teori hukum tata negara pada umumnya disebabkan pula oleh kebiasaan yang dilakukan oleh kalangan ahli hukum dan khususnya para ahli hukum tata negara sendiri yang selama ini kebanyakan cenderung terlalu verbalis, dan sangat normatif dalam membahas objek kajiannya.

Kajian hukum tata negara dikembangkan seolah-olah hanya berkisar pada soal pasal-pasal konstitusi tertulis alias Undang-Undang Dasar. Pada umumnya, pembahasannya pun cenderung hanya dilakukan dengan memperdebatkan kata-kata, soal-soal istilah, soal semantik. Disiplin ilmu hukum tata negara, dengan demikian, berkem­bang menjadi ilmu yang sangat kering, terjebak menjadi sekedar ilmu kata-kata, sangat dogmatik, dan positivistik. Sebenarnya, dapat pula diakui dengan sejujurnya bahwa kecenderungan sema­cam ini juga dialami oleh semua bidang kajian ilmu hukum di fakultas-fakultas hukum kita dewasa ini.

Dalam pada itu, para ahli di bidang kajian hukum tata negara itu sendiri, seperti kecende­rungan yang terjadi di seluruh dunia, juga mempunyai tabiat yang mirip, yaitu cenderung untuk bersikap ‘inward looking’ dan sangat nasionalistik. Bahkan, ada juga yang cenderung menjadi ‘chauvinist’ sama sekali. Karakter hukum tata negara sebagai cabang kajian hukum, memang cenderung mendorong orang untuk bersikap nasionalistik karena doktrin ‘supremasi konstitusi’ di internal negara masing-masing. Karena itu, objek kajian hukum tata negara lebih cenderung dilihat dalam konteks disiplin hukum positif yang tengah berlaku daripada sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat universal.

Dengan perkataan lain, ilmu hukum tata negara umum (algemeene staatslehre) kurang mendapat perhatian, karena terlalu terpaku pada kajian ilmu hukum tata negara positif (positieve staatslehre). Padahal, perkembangan di berbagai negara di dunia sangat pesat, yang menyebabkan berbagai teori dan praktek ketatanegaraan di dunia tumbuh cepat sekali. Lebih-lebih di era globalisasi dewasa ini, keharusan suatu negara mem­pelajari dan mengerti perkembangan-perkem­bangan yang terjadi di luar dirinya sendiri meru­pa kan sesuatu yang mutlak. Karena itu, tidak dapat tidak, disiplin ilmu hukum tata negara umum yang bersifat universal sangat penting untuk dikembangkan sebagai objek kajian di kalangan para ahli maupun di lingkungan pendi­dikan tinggi hukum di tanah air.

Di samping itu, sebagai cabang ilmu hukum, bidang hukum tata negara dalam arti luas, yaitu termasuk pengertian ilmu hukum tata negara dalam arti sempit dan ilmu hukum administrasi negara, selama ini memang cenderung kurang populer di kalangan mahasiswa pada umumnya. Salah satu sebabnya ialah bahwa bidang ilmu ini memang tidak berkembang di Indonesia yang terus menerus mengalami stagnasi dinamika politik selama setengah abad pertama. Stagnasi politik itu disebabkan oleh siklus kekuasaan di antara elite yang bergerak dinamis. Orang atau kelompok yang berkuasa cenderung yang itu-itu saja, sehingga dinamika kajian hukum secara ilmiah juga tidak berkembang.

Keadaan ini menyebabkan orang yang memilih bidang kajian hukum tata negara harus menghadapi risiko ganda. Pertama, lapangan kerja untuk para sarjana hukum tata negara tidak jelas; dan kedua, jika seseorang menonjol dalam bidang ini dan kemudian bersikap vokal dan kritis terhadap berbagai perkembangan politik ketatane­garaan sering menghadapi risiko politik yang tidak nyaman. Kedua hal ini, ditambah dengan kenyataan bahwa para dosennya sendiri kebanyakan kurang mampu menampilkan diri sebagai pemberi inspirasi dan motivasi yang mencerdaskan, maka peminat bidang kajian hukum tata negara terus-menerus menurun dari waktu ke waktu.

Keadaan tersebut barulah berubah setelah bangsa kita memasuki era reformasi sejak tahun 1998. Alam demokrasi dan udara kebebasan menyebabkan para ahli hukum tata negara yang jumlahnya sangat sedikit populer secara ‘mendadak’. Tiba-tiba baru kita rasakan bahwa bangsa kita membutuhkan banyak sekali ahli hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga mengalami perubahan besar-besaran, sehingga mau tidak mau bangsa kita harus mengadakan evaluasi besar-besaran pula terhadap semua perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini secara besar-besaran pula.

Sementara itu, dirasakan pula bahwa dinamika dan proses demokratisasi di segala lini dan bidang kehidupan nasional juga memerlukan banyak keahlian (expertise) untuk mengawal dan mengarahkannya pada jalan yang tepat. Karena itu, bangsa kita membutuhkan banyak sekali para ahli di bidang hukum tata negara dan hukum administrasi negara (Inggris: constitutional law and administrative law; Jerman: verfassungsrecht und verwaltungsrecht). Di samping para ahli di bidang-bidang yang lain, mereka ini diperlu­kan sebagai perpanjangan tangan Mahkamah Konstitusi dalam mengawal tegaknya supremasi konstitusi di tanah air kita.

Untuk itu, bangsa kita memerlukan banyak buku, bukan sekedar buku tentang hukum tata negara positif yang membahas pasal-pasal yang sedang berlaku, tetapi juga berbagai perkem­bangan teori dan praktek ketatanegaraan serta perbandingan konstitusi di berbagai negara di dunia yang makin menyatu di era globalisasi dewasa ini. Buku ini kami harapkan merupakan salah satunya, khususnya yang berkaitan dengan persoalan “Constitutional Review” atau pengujian konstitusional. Di dalamnya dibahas berbagai catatan sejarah mengenai perkembangan pemi­kiran dan penerapan mekanisme pengujian konstitusional itu di berbagai negara di dunia, dan menggambarkan pola-pola atau model pelembagaan atau pengorganisasian fungsi pengujian itu dalam sistem kelembagaan negara di dunia.

Banyak manfaat yang dapat kita petik dari kajian semacam ini. Melalui studi perbandingan seperti ini kita dapat memberikan gambaran mengenai prinsip-prinsip yang berlaku umum mengenai teori dan praktek pengujian konstitusional di kedelapan negara tersebut, yaitu Austria, Jerman, Italia, Perancis, Rusia, Hongaria, Afrika Selatan, dan Taiwan; dan dengan begitu kita dapat lebih mengerti apa yang kita lakukan dan yang semestinya kita kembangkan di tanah air kita sendiri setelah kita mengadopsikan ide pengujian konstitusional itu dalam sistem ketatanegaraan kita sendiri menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah Perubahan Keempat (tahun 2002).

Seperti kita ketahui, sistem dan mekanisme pengujian konstitusional (constitutional review) itu sendiri baru saja kita adopsikan ke dalam sistem konstitusi negara kita dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Pengujian konstitusional itu dimaksudkan untuk memastikan bahwa UUD sungguh-sungguh dijalankan atau ditegakkan dalam proses penyelenggaraan negara sehari-hari. Pengujian terhadap lembaga lain oleh lembaga yang berbeda apakah yang bersang­kutan sungguh-sungguh melaksanakan UUD atau tidak merupakan mekanisme yang sama sekali baru. Sebelumnya pengujian konstitusional memang tidak dikenal dalam sistem hukum dan konstitusi negara kita.

Percobaan pertama yang kita adakan dapat dikatakan barulah muncul setelah era reformasi, yaitu dengan ditetapkannya Ketetapan MPR-RI No. III/MPR/2000 yang memberikan kepada MPR kewenangan aktif untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. Sebelum ini, prosedur pengujian (judicial review) oleh Mahkamah Agung hanya dibatasi pada objek peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang. Dengan demikian, pengujian oleh Mahkamah Agung itu bukanlah pengujian mengenai konstitusionalitas, melainkan hanya pengujian mengenai legalitas peraturan perundang-undangan.

Pengujian aktif (active review) yang seyogyanya akan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan TAP No. III/MPR/2000 tersebut, sampai masa berlakunya ketetapan MPR tersebut berakhir, tidak pernah dilaksanakan karena memang tidak ada mekanisme yang memungkinkannya secara teknis dapat dilaksanakan. Sekiranya pun hal itu dapat dilaksanakan, maka niscaya apa yang dilakukannya tidak dapat disebut dengan istilah ‘judicial review’, melainkan merupakan ‘legislative review’ karena organ MPR itu sendiri termasuk cabang kekuasaan judisial. Betapapun juga, meskipun bukan sebagai legislator atau lembaga pembentuk undang-undang, MPR adalah lembaga yang termasuk kategori cabang kekuasaan legislatif dalam arti luas. Karena itu, pengujian konstitusional (constitutional review) yang seyogyanya akan dilakukan lebih tepat disebut sebagai ‘legislative review on the constitutionality of law’ atau pengujian legislatif atas konstitusionalitas undang-undang.

Pengujian konstitusional dalam arti ‘judicial review on the constitutionality of law’ atau pengujian judisial atas konstitusionalitas undang-undang baru kita adopsikan mekanismenya ke dalam sistem ketatanegaraan kita dengan diterimanya ide pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan umumnya dicantumkan dalam Pasal 7B ayat (1), (3), (4), (5), dan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan ayat (6) sebagai hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Kemudian ditambah Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat UUD 1945 pada tahun 2002.

Berdasarkan Aturan Peralihan inilah, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia benar-benar dibentuk sebelum tanggal 17 Agustus 2003. Undang-Undang yang mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai mahkamah ini selesai disusun dan disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003 menjadi Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LN-RI Tahun 2003 No. 98, dan TLN-RI No. 4316), dan Keputusan Presiden yang menetapkan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang pertama kali dalam sejarah Republik Indonesia ditetapkan pada tanggal 15 Agustus 2003 dengan Keputusan Presiden No. 147/M Tahun 2003.

Pengucapan sumpah jabatan kesembilan hakim dilakukan dengan disaksikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara pada hari Sabtu, tanggal 16 Agustus 2003, persis 1 hari sebelum tenggang waktu yang ditentukan oleh Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945. Keesokan harinya, Minggu, 17 Agustus adalah hari libur, dan hari Senin, 18 Agustus 2003, adalah hari upacara kenegaraan. Mulai hari Selasa, tanggal 19 Agustus 2003, kesembilan hakim konstitusi mulai bekerja dengan mengadakan rapat pemilihan ketua dan wakil ketua, serta hal-hal lain berkenaan dengan pelembagaan lembaga baru ini.

Dengan telah terbentuk dan berfungsinya Mahkamah Konstitusi sejak tanggal 19 Agustus 2003, maka mekanisme pengujian konstitusionalitas oleh lembaga peradilan yang tersendiri dapat diselenggarakan dengan sebaik-baiknya. Namun, dalam Aturan Peralihan Pasal III UUD 1945 ditentukan pula bahwa “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Artinya, sejak disahkannya naskah Perubahan Keempat UUD 1945 pada tanggal 10 Agustus 2002 sampai dengan terbentuknya Mahkamah Konstitusi, kewenangan judisial untuk melakukan pengujian konstitusional (constitutional review) itu sudah berlaku dan untuk sementara waktu dijalankan oleh Mahkamah Agung yang bertindak selaku Mahkamah Konstitusi Sementara.

Terbukti pula bahwa selama masa 1 (satu) tahun sebelum Mahkamah Konstitusi dibentuk, di Kepaniteraan Mahkamah Agung telah pula diregistrasi 14 buah berkas perkara pengujian undang-undang yang diajukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Itu berarti, mekanisme pengujian konstitusional itu tidak saja diadopsikan mekanismenya dalam ketentuan konstitusi sejak tahun 2000, tetapi juga telah mulai diterapkan dalam kenyataan praktek sejak itu.

Mengenai semua itu, kita diharapkan dapat aktif memperkembangkan tradisi pengujian konstitusional ini dalam rangka menjaminkan tegaknya prinsip supremasi hukum dan berlangsungnya proses demokratisasi yang sejati untuk kepentingan kemajuan kehidupan kebangsaan kita di segala bidang. Agar khalayak dan terutama kalangan ilmuwan hukum serta dunia pendidikan tinggi hukum terus menerus memutakhirkan informasi dan pengetahuan mengenai berbagai aspek berkenaan dengan teori dan praktek pengujian konstitusional ini, kami pun sangat mendorong semua pihak terlibat dalam kegiatan-kegiatan penelitian, pengkajian, pendidikan, penulisan dan penerbitan mengenai soal ini.

Tidak usah berpretensi sempurna, karena tidak akan pernah ada yang sempurna di dunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Kuasa. Jangan pernah dan juga tidak perlu berniat untuk mendapatkan penghargaan dari siapa pun jua, agar kita terhindar dari hasrat untuk menjadi sempurna, sehingga kesempatan yang terbatas hilang percuma karena keinginan menyajikan tulisan yang ‘sangat sempurna-padahal-tidak’ tersebut. Akibatnya, khalayak yang perlu segera menda­patkan pengetahuan dan informasi dari kita, dirugikan karenanya. Biarlah semua orang bebas menilai karya anda untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan, untuk kepentingan umum, untuk diabdikan kepada nusa dan bangsa, sebagai cara kita mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Selamat membaca, dan tak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang mendukung penerbitan buku ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhai segala usaha dan niat baik kita, serta memberkati kita semua sebagai bangsa.

Jakarta, Januari 2005
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

No comments: