Wednesday, October 18, 2006

Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi

Harga : Rp 66.500,-
Mengapa seseorang menulis? Jawaban yang diluncurkan pasti tidaklah seragam. R.A. Kartini dalam surat-surat kepada kawan-kawan­nya, menuliskan bahwa menulis adalah proses bekerja untuk keabadian. Semacam verbal valent scripta manent. Tapi seperti tadi, alasannya tidak­lah tunggal dan seragam. Ignas Kleden (2001) perca­ya bahwa menulis merupakan tata-cara untuk meng­umumkan dan menyuarakan pendapat dan apa yang diinginkan oleh penulis­nya. Baginya, penulis adalah penulis dan bukan juru bicara sekelompok orang apalagi juru bicara zamannya.

Jika pada akhirnya pertanyaan ini dituju­kan pada saya, maka saya pun mempunyai referensi banyak untuk menjawab, seperti cara R.A Kartini menjawab, ataupun Ignas Kleden menjawab. Namun disamping alasan-alasan itu, saya juga memiliki alasan spesifik. Saya menulis, karena saya ingin menatap jejak pemikiran dihadapan spasiotempo­ral. Ruang, waktu, tempat dan kesempatan dapat mengubah jejak pemikiran seseorang dan itu adalah hal yang wajar. Kalau mau melihat contoh, seperti distingsi antara Marx ‘muda’ dan Marx ‘tua’. Perspektifnya berubah mengiringi pembentukan kesadaran dan kejiwaan. Alasan ilmiahnya juga ada, yakni secara metodologi penulisan ilmiah. Setiap penyebutan nama seseorang yang dikutip pendapatnya, maka tahun kesadarannya juga harus dituliskan. Mengapa? Karena boleh jadi kesadaran dan pengetahuan berubah seiring perubahan banyak hal dalam diri maupun luar diri kita.

Buku ini dibentuk dari jejak pemikiran saya dalam bentuk makalah yang terserak dipelbagai seminar, diskusi, ceramah dan kegiatan keilmiahan lainnya antara tahun 2000 hingga 2002. Karena bentuknya sebagai kumpulan makalah, maka memang perlu diberikan beberapa catatan. Setidaknya, ada 3, yakni; Pertama, makalah pada sebuah kegiatan ilmiah merupakan respon terhadap momentum tertentu dengan ruang eksploratif yang kurang lapang dan waktu diskusi yang juga terbatas. Karenanya, jangan terlalu berharap untuk menemukan pandangan komperhensif terhadap masalah pada makalah tersebut. Lebih tepat jika dikatakan beberapa serpihan pemikiran yang terserak, kemudian dikumpulkan.

Kedua, karena kumpulan tulisan, maka boleh jadi ada beberapa tulisan yang sudah tidak tepat konteksnya. Ada beberapa tulisan yang sudah kehilangan ketepatan momentumnya. Hal ini tentu saja tidak bisa dihindari. Namun paling tidak, selain mendapatkan beberapa wacana dari makalah tersebut, juga dapat tergambarkan bagaimana suasana yang melatari momentum dengan makalah tersebut.

Ketiga, kumpulan makalah ini merupakan refleksi pandangan saya pribadi. Mungkin saja sudah ada yang berubah dan sudah tidak sama lagi seiring pergeseran waktu dan kesadaran baru yang saya miliki dan temukan. Tapi setiap makalah dalam buku ini akan mencantumkan waktunya secara tepat, sehingga pergeseran pendapat itu dapat tercatat dengan tepat secara lebih kronologis.

Terakhir, saya ingin mengucapkan terima kasih kepadabeberapa pihak yang ikut membantu membidani buku ini. Kepada Sdr. Zainal A.M. Husein yang tekun menyiapkan naskah ini lalu menyunting dan juga mengedit-nya, saya sangat berterima kasih. Secara tidak langsung, ia telah membantu saya untuk menatap kembali jejak pikiran dan pandangan saya melalui buku ini. Penghargaan sejenis juga harus saya alamatkan kepada Penerbit Konstitusi Press yang dikelola oleh Koperasi Karyawan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Kedua pihak ini telah bekerja keras untuk lahirnya buku ini dan bukan berarti mereka juga harus dibebankan kekurangan buku ini. Sebagai jejak pemikiran, maka kekurangan buku ini juga sepenuhnya menjadi milik saya.
Jakarta, 10 Desember 2004
Prof. Dr. Jimly Ashshiddiqie, S.H.

Teori Hans Kelsen Tentang Hukum

Harga : Rp 34.800,-
Salah satu kelemahan studi hukum di Indonesia adalah sedikitnya pemahaman terhadap konsepsi hukum secara utuh sebagai satu sistem ilmu yang berbeda dengan ilmu pengetahuan yang lain. Kondisi tersebut diperparah dengan tidak adanya literatur hukum yang membahas secara utuh pemikiran hukum dari tokoh yang berpengaruh. Miskinnya literatur teori hukum di Indonesia dapat dibandingkan dengan maraknya literatur filsafat dan politik. Saat ini terdapat sekian banyak buku yang mengulas pemikiran Karl Marx, Hegel, Engel, bahkan juga terdapat banyak literatur aliran-aliran pemikiran terbaru dari aliran kritis seperti Habermas, Heideger, dan lain-lain.

Miskinnya literatur teori hukum dalam bahasa Indonesia sedikit banyak telah mengakibatkan menurunnya kualitas para ahli hukum. Dunia hukum di Indonesia menjadi kering karena perdebatan hanya bersifat normatif pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan tanpa dilandasi kerangka teoritis. Di sisi lain terdapat pula kecenderungan semakin hilangnya karakteristik hukum sebagai sebuah ilmu karena terpengaruh oleh model analisis dan pemikiran ilmu-ilmu lain. Pengaruh analisis dan pemikiran ilmu lain terhadap ilmu hukum adalah sebuah kewajaran, namun menjadi ironi jika terjadi tanpa ada pemahaman terlebih dahulu terhadap ilmu hukum itu sendiri.

Penerbitan buku ini adalah salah satu upaya untuk mengisi kekosongan literatur teori hukum di Indonesia. Sengaja dipilih teori Hans Kelsen karena Kelsen dikenal sebagai pencetus The Pure Theory of Law yang menganalisis hukum sebagai suatu kesatuan ilmu yang berbeda dengan ilmu lain. Hans Kelsen merupakan tokoh yang sangat berpengaruh di bidang hukum. Walaupun selama ini Hans Kelsen banyak diasosiasikan dengan wilayah studi Hukum Tata Negara, namun buku ini akan membuktikan bahwa teori Hans Kelsen meliputi semua bidang hukum, baik Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata, bahkan Hukum Internasional.

Walaupun hampir semua sarjana hukum Indonesia mengenal, paling tidak pernah mendengar, Hans Kelsen, namun sedikit sekali yang memahami teori Hans Kelsen tentang hukum secara utuh. Sebagai akibatnya, seringkali terjadi kekeliruan dalam memaknai teori-teorinya. Terkait dengan masalah keadilan misalnya, di satu sisi terdapat ahli hukum yang menolak Hans Kelsen karena teorinya memisahkan antara hukum dan keadilan. Sedangkan di sisi lain terdapat ahli hukum secara keliru menerima dan menyatakan bahwa hukum memang “tidak ada urusan­nya” dengan keadilan. Kelsen memang menyatakan bahwa hukum merupakan hal yang berbeda dengan keadilan. Analisis hukum secara normatif harus terpisah dengan keadilan yang cenderung bersifat ideologis. Namun bukan berarti keadilan tidak berhubungan dengan hukum. Keadilan berperan dalam proses pembuatan hukum dan pelaksanaan hukum di pengadilan.

Kami berharap buku ini dapat memberikan ulasan yang utuh teori Hans Kelsen tentang Hukum terutama bagi kalangan yang tidak dapat mengakses dan memahami buku-buku Hans Kelsen baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Jerman. Kami juga berharap penerbitan buku ini akan menjadi pendorong munculnya literatur teori dan filsafat hukum dari seorang tokoh secara utuh.Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu hingga buku ini sampai di tangan pembaca. Terutama pihak-pihak yang telah membantu dalam proses editing, lay out, dan penerbitannya.
Jakarta, Maret 2006
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
M. Ali Safa’at, S.H., M.H.

Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara

Harga : Rp 35.000,-
Buku ini diterbitkan untuk maksud melengkapi kepustakaan
hukum tata negara di tanah air yang dirasakan sangat terbatas jumlah dan mutunya, terutama yang membahas teori-teori konstitusi dan teori hukum tata negara pada umumnya. Di samping dunia perbukuan di tanah air kita memang masih sangat terbatas kuantitas dan kualitasnya, karena rendahnya minat dan kegemaran masyarakat kita untuk membaca, kelangkaan buku-buku yang membahas secara mendalam berbagai teori konstitusi dan teori hukum tata negara pada umumnya disebabkan pula oleh kebiasaan yang dilakukan oleh kalangan ahli hukum dan khususnya para ahli hukum tata negara sendiri yang selama ini kebanyakan cenderung terlalu verbalis, dan sangat normatif dalam membahas objek kajiannya.

Kajian hukum tata negara dikembangkan seolah-olah hanya berkisar pada soal pasal-pasal konstitusi tertulis alias Undang-Undang Dasar. Pada umumnya, pembahasannya pun cenderung hanya dilakukan dengan memperdebatkan kata-kata, soal-soal istilah, soal semantik. Disiplin ilmu hukum tata negara, dengan demikian, berkem­bang menjadi ilmu yang sangat kering, terjebak menjadi sekedar ilmu kata-kata, sangat dogmatik, dan positivistik. Sebenarnya, dapat pula diakui dengan sejujurnya bahwa kecenderungan sema­cam ini juga dialami oleh semua bidang kajian ilmu hukum di fakultas-fakultas hukum kita dewasa ini.

Dalam pada itu, para ahli di bidang kajian hukum tata negara itu sendiri, seperti kecende­rungan yang terjadi di seluruh dunia, juga mempunyai tabiat yang mirip, yaitu cenderung untuk bersikap ‘inward looking’ dan sangat nasionalistik. Bahkan, ada juga yang cenderung menjadi ‘chauvinist’ sama sekali. Karakter hukum tata negara sebagai cabang kajian hukum, memang cenderung mendorong orang untuk bersikap nasionalistik karena doktrin ‘supremasi konstitusi’ di internal negara masing-masing. Karena itu, objek kajian hukum tata negara lebih cenderung dilihat dalam konteks disiplin hukum positif yang tengah berlaku daripada sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat universal.

Dengan perkataan lain, ilmu hukum tata negara umum (algemeene staatslehre) kurang mendapat perhatian, karena terlalu terpaku pada kajian ilmu hukum tata negara positif (positieve staatslehre). Padahal, perkembangan di berbagai negara di dunia sangat pesat, yang menyebabkan berbagai teori dan praktek ketatanegaraan di dunia tumbuh cepat sekali. Lebih-lebih di era globalisasi dewasa ini, keharusan suatu negara mem­pelajari dan mengerti perkembangan-perkem­bangan yang terjadi di luar dirinya sendiri meru­pa kan sesuatu yang mutlak. Karena itu, tidak dapat tidak, disiplin ilmu hukum tata negara umum yang bersifat universal sangat penting untuk dikembangkan sebagai objek kajian di kalangan para ahli maupun di lingkungan pendi­dikan tinggi hukum di tanah air.

Di samping itu, sebagai cabang ilmu hukum, bidang hukum tata negara dalam arti luas, yaitu termasuk pengertian ilmu hukum tata negara dalam arti sempit dan ilmu hukum administrasi negara, selama ini memang cenderung kurang populer di kalangan mahasiswa pada umumnya. Salah satu sebabnya ialah bahwa bidang ilmu ini memang tidak berkembang di Indonesia yang terus menerus mengalami stagnasi dinamika politik selama setengah abad pertama. Stagnasi politik itu disebabkan oleh siklus kekuasaan di antara elite yang bergerak dinamis. Orang atau kelompok yang berkuasa cenderung yang itu-itu saja, sehingga dinamika kajian hukum secara ilmiah juga tidak berkembang.

Keadaan ini menyebabkan orang yang memilih bidang kajian hukum tata negara harus menghadapi risiko ganda. Pertama, lapangan kerja untuk para sarjana hukum tata negara tidak jelas; dan kedua, jika seseorang menonjol dalam bidang ini dan kemudian bersikap vokal dan kritis terhadap berbagai perkembangan politik ketatane­garaan sering menghadapi risiko politik yang tidak nyaman. Kedua hal ini, ditambah dengan kenyataan bahwa para dosennya sendiri kebanyakan kurang mampu menampilkan diri sebagai pemberi inspirasi dan motivasi yang mencerdaskan, maka peminat bidang kajian hukum tata negara terus-menerus menurun dari waktu ke waktu.

Keadaan tersebut barulah berubah setelah bangsa kita memasuki era reformasi sejak tahun 1998. Alam demokrasi dan udara kebebasan menyebabkan para ahli hukum tata negara yang jumlahnya sangat sedikit populer secara ‘mendadak’. Tiba-tiba baru kita rasakan bahwa bangsa kita membutuhkan banyak sekali ahli hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga mengalami perubahan besar-besaran, sehingga mau tidak mau bangsa kita harus mengadakan evaluasi besar-besaran pula terhadap semua perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini secara besar-besaran pula.

Sementara itu, dirasakan pula bahwa dinamika dan proses demokratisasi di segala lini dan bidang kehidupan nasional juga memerlukan banyak keahlian (expertise) untuk mengawal dan mengarahkannya pada jalan yang tepat. Karena itu, bangsa kita membutuhkan banyak sekali para ahli di bidang hukum tata negara dan hukum administrasi negara (Inggris: constitutional law and administrative law; Jerman: verfassungsrecht und verwaltungsrecht). Di samping para ahli di bidang-bidang yang lain, mereka ini diperlu­kan sebagai perpanjangan tangan Mahkamah Konstitusi dalam mengawal tegaknya supremasi konstitusi di tanah air kita.

Untuk itu, bangsa kita memerlukan banyak buku, bukan sekedar buku tentang hukum tata negara positif yang membahas pasal-pasal yang sedang berlaku, tetapi juga berbagai perkem­bangan teori dan praktek ketatanegaraan serta perbandingan konstitusi di berbagai negara di dunia yang makin menyatu di era globalisasi dewasa ini. Buku ini kami harapkan merupakan salah satunya, khususnya yang berkaitan dengan persoalan “Constitutional Review” atau pengujian konstitusional. Di dalamnya dibahas berbagai catatan sejarah mengenai perkembangan pemi­kiran dan penerapan mekanisme pengujian konstitusional itu di berbagai negara di dunia, dan menggambarkan pola-pola atau model pelembagaan atau pengorganisasian fungsi pengujian itu dalam sistem kelembagaan negara di dunia.

Banyak manfaat yang dapat kita petik dari kajian semacam ini. Melalui studi perbandingan seperti ini kita dapat memberikan gambaran mengenai prinsip-prinsip yang berlaku umum mengenai teori dan praktek pengujian konstitusional di kedelapan negara tersebut, yaitu Austria, Jerman, Italia, Perancis, Rusia, Hongaria, Afrika Selatan, dan Taiwan; dan dengan begitu kita dapat lebih mengerti apa yang kita lakukan dan yang semestinya kita kembangkan di tanah air kita sendiri setelah kita mengadopsikan ide pengujian konstitusional itu dalam sistem ketatanegaraan kita sendiri menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah Perubahan Keempat (tahun 2002).

Seperti kita ketahui, sistem dan mekanisme pengujian konstitusional (constitutional review) itu sendiri baru saja kita adopsikan ke dalam sistem konstitusi negara kita dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Pengujian konstitusional itu dimaksudkan untuk memastikan bahwa UUD sungguh-sungguh dijalankan atau ditegakkan dalam proses penyelenggaraan negara sehari-hari. Pengujian terhadap lembaga lain oleh lembaga yang berbeda apakah yang bersang­kutan sungguh-sungguh melaksanakan UUD atau tidak merupakan mekanisme yang sama sekali baru. Sebelumnya pengujian konstitusional memang tidak dikenal dalam sistem hukum dan konstitusi negara kita.

Percobaan pertama yang kita adakan dapat dikatakan barulah muncul setelah era reformasi, yaitu dengan ditetapkannya Ketetapan MPR-RI No. III/MPR/2000 yang memberikan kepada MPR kewenangan aktif untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. Sebelum ini, prosedur pengujian (judicial review) oleh Mahkamah Agung hanya dibatasi pada objek peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang. Dengan demikian, pengujian oleh Mahkamah Agung itu bukanlah pengujian mengenai konstitusionalitas, melainkan hanya pengujian mengenai legalitas peraturan perundang-undangan.

Pengujian aktif (active review) yang seyogyanya akan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan TAP No. III/MPR/2000 tersebut, sampai masa berlakunya ketetapan MPR tersebut berakhir, tidak pernah dilaksanakan karena memang tidak ada mekanisme yang memungkinkannya secara teknis dapat dilaksanakan. Sekiranya pun hal itu dapat dilaksanakan, maka niscaya apa yang dilakukannya tidak dapat disebut dengan istilah ‘judicial review’, melainkan merupakan ‘legislative review’ karena organ MPR itu sendiri termasuk cabang kekuasaan judisial. Betapapun juga, meskipun bukan sebagai legislator atau lembaga pembentuk undang-undang, MPR adalah lembaga yang termasuk kategori cabang kekuasaan legislatif dalam arti luas. Karena itu, pengujian konstitusional (constitutional review) yang seyogyanya akan dilakukan lebih tepat disebut sebagai ‘legislative review on the constitutionality of law’ atau pengujian legislatif atas konstitusionalitas undang-undang.

Pengujian konstitusional dalam arti ‘judicial review on the constitutionality of law’ atau pengujian judisial atas konstitusionalitas undang-undang baru kita adopsikan mekanismenya ke dalam sistem ketatanegaraan kita dengan diterimanya ide pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan umumnya dicantumkan dalam Pasal 7B ayat (1), (3), (4), (5), dan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan ayat (6) sebagai hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Kemudian ditambah Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat UUD 1945 pada tahun 2002.

Berdasarkan Aturan Peralihan inilah, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia benar-benar dibentuk sebelum tanggal 17 Agustus 2003. Undang-Undang yang mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai mahkamah ini selesai disusun dan disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003 menjadi Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LN-RI Tahun 2003 No. 98, dan TLN-RI No. 4316), dan Keputusan Presiden yang menetapkan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang pertama kali dalam sejarah Republik Indonesia ditetapkan pada tanggal 15 Agustus 2003 dengan Keputusan Presiden No. 147/M Tahun 2003.

Pengucapan sumpah jabatan kesembilan hakim dilakukan dengan disaksikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara pada hari Sabtu, tanggal 16 Agustus 2003, persis 1 hari sebelum tenggang waktu yang ditentukan oleh Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945. Keesokan harinya, Minggu, 17 Agustus adalah hari libur, dan hari Senin, 18 Agustus 2003, adalah hari upacara kenegaraan. Mulai hari Selasa, tanggal 19 Agustus 2003, kesembilan hakim konstitusi mulai bekerja dengan mengadakan rapat pemilihan ketua dan wakil ketua, serta hal-hal lain berkenaan dengan pelembagaan lembaga baru ini.

Dengan telah terbentuk dan berfungsinya Mahkamah Konstitusi sejak tanggal 19 Agustus 2003, maka mekanisme pengujian konstitusionalitas oleh lembaga peradilan yang tersendiri dapat diselenggarakan dengan sebaik-baiknya. Namun, dalam Aturan Peralihan Pasal III UUD 1945 ditentukan pula bahwa “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Artinya, sejak disahkannya naskah Perubahan Keempat UUD 1945 pada tanggal 10 Agustus 2002 sampai dengan terbentuknya Mahkamah Konstitusi, kewenangan judisial untuk melakukan pengujian konstitusional (constitutional review) itu sudah berlaku dan untuk sementara waktu dijalankan oleh Mahkamah Agung yang bertindak selaku Mahkamah Konstitusi Sementara.

Terbukti pula bahwa selama masa 1 (satu) tahun sebelum Mahkamah Konstitusi dibentuk, di Kepaniteraan Mahkamah Agung telah pula diregistrasi 14 buah berkas perkara pengujian undang-undang yang diajukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Itu berarti, mekanisme pengujian konstitusional itu tidak saja diadopsikan mekanismenya dalam ketentuan konstitusi sejak tahun 2000, tetapi juga telah mulai diterapkan dalam kenyataan praktek sejak itu.

Mengenai semua itu, kita diharapkan dapat aktif memperkembangkan tradisi pengujian konstitusional ini dalam rangka menjaminkan tegaknya prinsip supremasi hukum dan berlangsungnya proses demokratisasi yang sejati untuk kepentingan kemajuan kehidupan kebangsaan kita di segala bidang. Agar khalayak dan terutama kalangan ilmuwan hukum serta dunia pendidikan tinggi hukum terus menerus memutakhirkan informasi dan pengetahuan mengenai berbagai aspek berkenaan dengan teori dan praktek pengujian konstitusional ini, kami pun sangat mendorong semua pihak terlibat dalam kegiatan-kegiatan penelitian, pengkajian, pendidikan, penulisan dan penerbitan mengenai soal ini.

Tidak usah berpretensi sempurna, karena tidak akan pernah ada yang sempurna di dunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Kuasa. Jangan pernah dan juga tidak perlu berniat untuk mendapatkan penghargaan dari siapa pun jua, agar kita terhindar dari hasrat untuk menjadi sempurna, sehingga kesempatan yang terbatas hilang percuma karena keinginan menyajikan tulisan yang ‘sangat sempurna-padahal-tidak’ tersebut. Akibatnya, khalayak yang perlu segera menda­patkan pengetahuan dan informasi dari kita, dirugikan karenanya. Biarlah semua orang bebas menilai karya anda untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan, untuk kepentingan umum, untuk diabdikan kepada nusa dan bangsa, sebagai cara kita mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Selamat membaca, dan tak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang mendukung penerbitan buku ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhai segala usaha dan niat baik kita, serta memberkati kita semua sebagai bangsa.

Jakarta, Januari 2005
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

REVOLUSI HUKUM INDONESIA: Makna, Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem Ketatanegaraan RI

Harga : Rp 45.000,-
Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah swt, karena hanya dengan pertolongan dan petunjuk-Nya, proses penelitian, penulisan, dan penerbitan buku ini dapat berjalan lancar dan selesai tepat waktu. Sholawat dan salam semoga tercurah keharibaan Nabi dan Rasul Muhammad saw.

Buku berjudul HUKUM REVOLUSI INDONESIA: Makna, Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem Ketatanegaraan RI ini semula adalah disertasi penulis yang telah berhasil dipromosikan dalam Ujian Terbuka pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung 24 September 2005.

Judul buku di atas dipilih karena terinspirasi oleh pidato pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Roeslan Abdul Ghani, S.H. yang pernah disampaikan di Universitas Airlangga Surabaya yaitu “Hukum Dalam Revolusi dan Revolusi Dalam Hukum” (sekitar Tahun 1964). Menurut Roeslan salah ciri utama dari hukum kolonial adalah “macht is recht” yaitu kekuasaan adalah hukum, dan dengan kekuasaan itulah kita dihukum. Sedangkan dalam hukum nasional, “recht is recht en macht is macht” yaitu hukum adalah hukum dan kekuasaan adalah kekuasaan. Karenanya, kekuasaan itu harus timbul dari hukum dan dilaksanakan berdasarkan hukum.

Sementara buku ini mencoba membedah makna dan kedudukan hukum Naskah Proklamasi dalam perspektif ilmu hukum (hukum Tata Negara). Sebagaimana umum ketahui bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan tindakan revolusi yang bersifat tunggal (einmalig), sejak saat itu sistem hukum kolonial telah dijungkirbalikkan dan diganti dengan sistem hukum nasional, demikian juga dengan sistem ekonomi, politik, dan sosialnya. Dengan demikian tepatlah kalau buku ini diberi judul hukum revolusi Indonesia, karena implikasi hukum yang ditimbulkan adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Naskah Proklamasi menjadi sumber inspirasi, sumber rujukan, dan sekaligus sebagai norma kritik bagi pembentukan hukum positif selanjutnya.

Secara metodologis, hal esensial dari buku ini terletak pada metode analisis yang digunakannya yaitu mencoba membedah makna, kedudukan, dan implikasi hukum di atas dalam kerangka analisis yang holistik (yaitu yurisis, filosofis, politis, dan historis), meskipun tetap mengedepankan dengan metode analisis hukum normatif. Secara teoretis, untuk membedah makna hukum Naskah Proklamasi penulis menggunakan hermeneutika sebagai pisau analisisnya (lihat hasil analisis pada Bab III). Sedangkan untuk memosisikan kedudukan hukum Naskah Proklamasi dalam sistem penormaan Indonesia menggunakan stufenbatheorie Kelsen maupun Nawiasky dan Grundnorm Kelsen (lihat hasil analisis pada Bab IV). Teori sumber hukum juga digunakan untuk melihat kedudukan hukum Naskah Proklamasi dalam praktik ketatanegaraan RI di satu pihak, dan di pihak lain untuk melihat sejauhmana implikasi hukumnya (lihat hasil analisis pada Bab V).

Walhasil, pada saat ruh dari Naskah Proklamasi dikualifikasikan sebagai Grundnorm hukum positif Indonesia, maka proklamasi harus dijadikan sumber inspirasi, sumber rujukan, dan kaidah penilai (norma kritik) dalam pembentukan maupun penerapan peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan. Konsekuensi hukumnya, seluruh peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan yang tidak sejalan atau bertentangan dengan spirit proklamasi dapat cabut dan/atau dibatalkan.

Melalui kesempatan ini, penulis haturkan rasa terima kasih yang dalam kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., MCL., Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin, S.H. dan Bapak Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H. (sebagai Tim Promotor), yang selalu meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya dan tetap berkenan membimbing, mengarahkan, membekali ilmu dan hikmah, serta memberikan koreksi kritis kepada penulis dengan penuh kearifan dan keteladanan.
2. Civitas akademika Universitas Padjadjaran Bandung dan Universitas Brawijaya Malang, yang sama-sama telah memberikan kesempatan dan izin kepada penulis untuk mendalami dan mengembangkan ilmu hukum tata negara melalui penelitian gradasi doktor.
3. Tim Penelaah disertasi yaitu: Bapak Prof. Dr. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H., Prof. Dr. H. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M., Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S., Prof. Dr. H. Moh. Mahfud MD., S.H., S.U., Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, S.H., M.H., dan Dr. Supraba Sekarwati, S.H., M.H. yang telah bersedia menjadi oponen ahli untuk memberikan saran, masukan, dan telaah kritis dalam proses ujian disertasi. Juga kepada Bapak Prof. Dr. H. R. Sri Soemantri M., S.H., Prof. Dr. H. Endang Syaifullah, S.H., LL.M, dan Ibu Prof. Dr. Hj. Kusdwiratri Setiono, S.Psi. yang telah berkenan menjadi penguji guru besar dalam ujian disertasi.
4. Para Ahli (Expert Group) yaitu: Pelaku Sejarah Kemerdekaan RI: Ibu Supeni (almarhumah), Jendral Purnawirawan M. Yusuf (almarhum), Prof. Dr. H. Roeslan Abdulgani, S.H. (almarhum); Ahli Hukum Tata Negara: Prof. Dr. H. Sri Soemantri M., S.H., Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., MCL., Prof. Dr. H. Moh. Mahfud MD., S.H., S.U., Prof. Dr. H. Mohamad Laica Marzuki, S.H., Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin, S.H., Prof. Dr. H. Muchsan, S.H., Prof. Dr. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H., Prof. Dr. H. Harun Al-Rasjid, S.H., Prof. Dr. H. Ismail Sunny, S.H., Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H., M.Si., Dr. Maria Farida Indrati S., S.H., Dr. H. S.F. Marbun, S.H., M.H., Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, S.H., M.H., Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S., Dr. Adnan Buyung Nasution, S.H.; Ahli Filsafat (Hukum): Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, Prof. Dr. Kunto Wibisono, Dr. Damardjati Supadjar, Prof. Dr. Suryanto Puspowardoyo, Prof. Dr. Tuti Nurhadi, Prof. Dr. H. Lili Rasjidi, S.H., S. Sos., LLM., Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H., Prof. H. Darji Darmodiharjo, S.H., Prof. Dr. H. Mohammad Noor Syam, S.H., Prof. Dr. H. Ahmad Shodiqi, S.H.; Ahli Ilmu Politik: Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, S.H., Prof. Dr. Riswanda Imawan, Drs. Arbi Sanit., Prof. Dr. H. Ichlasul Amal, Prof. Dr. H. Mochtar Masoed; Ahli Sejarah: Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, Dr. Anhar Gonggong, Prof. Dr. H. A. Syafi’i Maarif, Dr. Nina Herlina Lubis, H. Ahmad Mansur Suryanegara, Prof. Dr. Said Agil Siradj, Prof. Dr. H. Nurcholis Madjid (almarhum), Dr. K.H. Noor Iskandar Albarsani; dan Ahli Bahasa (bahasa hukum): Dr. Soelaeman B. Adhiwidjaja, Dipl. Ed,. S.H. (almarhum), dan Prof. Dr. J.S. Badudu, yang telah bersedia memberikan ilmu dan pendapatnya melalui proses wawancara yang penulis lakukan di tengah-tengah kesibukan beliau-beliau yang amat padat.
5. Kedua orang tuaku dan kedua orang mertuaku serta seluruh keluargaku yang tidak dapat penulis sebut satu persatu, terima kasih atas segala doa, restu, nasihat, dan motivasinya.
6. Juga kepada Bapak-Ibu dan teman-temanku seangkatan, seniorita dan yuniorita, anggota BU, PPOTODA, Asosiasi Pengajar HTN-HAN Indonesia, dan seluruh handai taulan yang tidak dapat penulis sebut satu per satu di sini, terima kasih atas segala jasa baiknya.

Secara khusus penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada istriku tercinta Adinda Siti Avi Yunaita, S.H. dan kedua anakku tersayang Ananda Muhammad Nalarizqy Haz Afhami dan Qorry ‘Aina Afhami yang selalu menyemangati dan mendampingi penulis/suami/ayah dengan penuh kehangatan dan kesabaran selama mengarungi bahtera kehidupan terutama selama proses studi dan penulisan buku ini.

Rasa terima kasih dan bahagia tidak lupa penulis sampaikan kepada Penerbit Konpress yang telah bersedia menerbitkan naskah buku secara profesional. Untuk itu, kepada para pembaca dan segenap mahasiswa di manapun berada: selamat membaca dan memberikan aprersiasi kritis terhadap substansi buku ini.

Akhirnya kepada Allah Swt. jualah penulis berserah diri dan memohon ampun, semoga kehadiran buku ini tidak menyesatkan kehidupan diri penulis sendiri serta tidak mendzolimi proses dinamisasi kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama di negeri tercinta ini. Sekali lagi, penulis memohon maaf kepada segenap pembaca atas segala kesalahan dan kekurangan yang ada, karena penulis sadar bahwa semua ini masih dalam proses belajar dan terus belajar tiada akhir. Saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya. Akhiru dakwana alhamdulillahirobbil ‘alamin.
Bandung, 29 November 2005
Dr. Jazim Hamidi, S.H., M.H.

Tuesday, October 17, 2006

Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia

Harga : Rp 62.500,-
Sebagai penulis, saya sepenuhnya sangat bersyu­kur pada Allah SWT, karena buku ini akhirnya diterbitkan kembali setelah edisi pertamanya diterbitkan sekitar setahun yang lalu. Buku ini sendiri merupakan buku yang ditulis me­lalui proses yang panjang. Bukan sekedar karena di­konstruk dari catatan-catatan yang terserak di berbagai tempat, namun buku ini juga merupakan refleksi dari perjalanan dan keterlibatan saya dalam dunia ilmu hukum. Keterlibatan menjadi akademisi yang mempe­lajari berbagai wacana ilmu hukum, juga keterlibatan selaku politisi ketika menjadi anggota legislatif dan merumuskan wajah dan arah hukum di Indonesia. Dimensi keterlibatan lainnya juga selaku Hakim Konstitusi, yang seringkali disebut sebagai the guardian of the constitution. Karenanya, sekali lagi, buku ini bukan hasil sulapan sehari. Buku ini adalah gambaran pergulatan dalam teori dan praktek ilmu hukum, setidaknya dalam 2,5 dasa­warsa terakhir. Oleh karenanya, buku ini saya maksudkan sebagai persaksian saya terhadap ilmu hukum di Indonesia, yang kemudian saya sajikan dalam bentuk teori-teori dan ulasan ilmu hukum.

Buku ini ternyata memiliki angka indek­sasi permintaan yang cukup tinggi. Praktis, hanya beberapa bulan setelah diterbitkan, buku ini telah habis. Sedangkan permintaan terhadap buku ini tetap mengalir, baik ke saya secara pribadi maupun ke Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi HTN Universitas Indonesia yang menjadi penerbit untuk edisi pertamanya. Karenanya, saya sangat menyambut penerbitan buku ini lagi. Saya anggap (sekaligus berharap), cetakan baru ini menjadi “minuman penyegar” bagi dahaga setiap orang yang mencari buku ini.

Kedua, adalah wajar sebuah buku yang berisi banyak ulasan, harus mengalami pergeseran di hadapan tempat, waktu dan kesempatan. Apa yang saya ulas mengenai wajah hukum pada beberapa tahun yang lalu, tentu saja telah ber­beda ketika tahun juga bergeser. Ada peraturan perun­dang-undangan yang baru, ada aturan baru, bahkan ada komposisi kenegaraan serta pola bernegara yang baru. Di sinilah letak revisi-revisi dari cetakan pertama yang dilakukan, tentunya se­lain beberapa kesalahan yang sangat manusiawi berupa salah ketik. Sedangkan selebihnya, tetap merupakan pandangan yang saya anut hingga kini.

Ketiga, saya adalah termasuk pada golongan orang-orang yang percaya bahwa peradaban dapat dibangun (salah satunya) adalah dari ilmu dan literatur dalam bentuk buku-buku. Karenanya, saya sepenuhnya meyakini bahwa menulis buku untuk saling berbagi ilmu merupakan budaya yang harus kita bangun jika ingin membuat dunia ini jauh lebih beradab. Menurut saya, sebagaimana Islam mengalami masa jaya setelah berbagai buku Yunani dan Romawi klasik di­terjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Persia, serta sebagai­mana masa renaissance di Barat terjadi setelah berbagai buku Pemikir Arab dan Persia dibawa ke Barat dan diterje­mahkan ke berbagai bahasa, maka membangun budaya literal juga merupakan bagian penting dalam upaya mem­bangun peradaban. Karenanya, penerbitan buku ini memang seharusnya dilakukan.

Lahirnya buku dengan edisi revisi ini juga meru­pa­kan buah dari dukungan dan keterlibatan beberapa sosok yang dengan tulus dan tekun ikut membantu dalam beberapa hal. Selain kepada semua orang yang telah terlibat pada penerbitan edisi pertama, saya juga harus mengucapkan penghar-gaan saya kepada Saudara Zainal A.M. Husein yang ikut membantu saya mengeditori kembali buku cetakan pertama dan menjadikannya menjadi edisi revisi ini. Selain itu, juga kepada Penerbit Konstitusi Press yang menyadari telah demikian langkanya buku jenis ini sehingga “memaksa” saya menye­tujui penerbitan edisi revisi ini. Buku yang atas nama pengalaman ini juga yang membuat saya harus pula ber­te­rimakasih kepada seluruh rekan-rekan sesama hakim, rekan-rekan sesama akademisi serta seluruh rekan-rekan lainnya yang sangat gigih dalam pergulatan penegakan hukum. Saya sepenuhnya sadar bahwa perkenalan bersama mereka makin menambah pengalaman, pemahaman dan pengetahuan saya dalam ilmu hukum.

Saya berharap (sebagaimana harapan saya pada edisi terdahulu), buku ini mengisi kekosongan buku pegangan yang biasanya dipakai oleh mahasiswa, pengajar dan para pengkaji ilmu hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Semoga buku ini bersama dengan pembacanya, dapat membantu meretas jalan untuk perwujudan negeri ini sebagai negara hukum yang adil dan makmur.

Jakarta, Juli 2005
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi

Harga : Rp 53.500,-


Buku ini dimaksudkan sebagai salah satu bahan ba­caan mengenai mekanisme kerja peradilan konsti­tusional yang berhubungan dengan persoalan pem­­bubaran partai politik, yang kewenangan untuk membubarkan partai politik itu sendiri oleh UUD 1945 diamanatkan kepada Mahkamah Konstitusi. Karena lang­kanya buku yang mengulas mengenai soal ini, apa­lagi keberadaan Mahkamah Konstitusi sendiri memang masih baru dalam sistem ketatanegaraan kita, maka tepatlah jika dikatakan memang terdapat kebutuhan yang nyata akan buku-buku yang menguraikan berbagai persoalan mengenai hal ini.

Mengingat mendesaknya kebutuhan akan buku semacam ini, maka meskipun dalam kesibukan yang tidak memungkinkan bagi saya untuk secara leluasa meneliti persoalan yang dibahas disini secara mendalam, tetapi karena desakan kebutuhan itu, saya harus me­nyusun buku ini dari serpihan data yang saya miliki di perpustakaan pribadi yang serba terbatas. Bahan-bahan yang saya pakai sebagian terbesar adalah bahan-bahan yang terkait dengan soal kebebasan berserikat dan pelaksanaan tugas-tugas peradilan di Mahkamah Konsti­tusi dalam menjamin prinsip kebebasan berserikat itu. Karena itulah, judul buku ini sengaja dipilihkan menjadi Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi.

Saya berharap buku ini dapat membantu siapa saja yang berminat mengetahui berbagai aspek mengenai pembubaran partai politik di tengah menjamurnya partai-partai politik di tanah air kita, setelah terbukanya pintu kebebasan politik sejak tahun 1998. Memang be­nar, kebebasan berserikat telah dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Tepatnya, Pasal 28E ayat (3) itu berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan ber­serikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Ka­rena itu, mendirikan dan menjadi anggota partai politik yang secara universal diakui sebagai pilar utama demokrasi, adalah hak asasi bagi setiap orang yang dijamin oleh UUD 1945.

Akan tetapi, karena partai politik itu adalah pilar demokrasi, maka pilar demokrasi itu sendiri haruslah kuat dan kokoh, agar demokrasi yang ditopangnya menjadi kokoh pula. Untuk itu, derajat pelembagaan partai politik harus berkualitas, dan hal itu tidak mungkin diharapkan apabila jumlahnya terlalu banyak. Tidak masuk akal membayangkan sistem demokrasi akan tumbuh sehat dan kuat, sementara jumlah partai politiknya tumbuh seperti jamur di musim hujan dan hanya menjadi alat bagi pendirinya untuk meng­aktualisasikan diri sendiri. Oleh sebab itu, jumlah partai politik mau tidak mau mestilah terbatas.

Namun, perlu dicatat pula bahwa jika pem­batasan itu dilakukan secara bersengaja dengan mem­pergunakan perangkat hukum, maka hal itu dapat pula berarti membatasi dan bahkan mengurangi ke­merdekaan atau kebebasan berserikat itu sendiri. Itulah sebabnya diperlukan rambu-rambu hukum yang adil untuk me­ngatur tata cara pembentukan dan pembubaran partai politik. Jangan sampai pembentukan partai politik dibuat terlalu mudah sehingga menjadi alat saja bagi kepentingan pribadi pendirinya, tetapi jangan pula pembubaran partai politik itu juga diatur demikian mudahnya, sehingga para penguasa dapat bertindak sewenang-wenang dalam melindungi kedudukannya sen­diri sebagai pemenang pemilu yang terus ingin berkuasa.

Saya berharap bahwa buku ini, dengan segala kekurangannya, dapat merangsang penulis-penulis lain yang lebih serius. Sementara itu, kepada para mahasiswa dan dosen di fakultas-fakultas hukum dan fakultas ilmu politik di seluruh tanah air, kiranya dapat memanfaatkan buku ini sebagai bacaan. Kepada Penerbit Konpress, saya ucapkan terima kasih atas terbitnya buku ini. Semoga bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Jakarta, Juni 2005.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.